Hawa panas menyelimuti tubuhku. Api masih menyambar-nyambar diujung kamar, bau belerang menusuk-nusuk hidung pesekku. Kudengar suara orang berteriak-teriak mencoba menyalamatkan diri.
Aku takut untuk melangkah keluar kamar.
Sepertinya tak ada harapan, hanya ini yang bisa kulakukan.
Terjebak di kamarku yang sempit. Aku terlalu pengecut untuk berlari keluar.
Aku tak bisa mengendalikan tubuhku. Aku terjatuh di lantai kamarku yang biasanya dingin. Penglihatan sebelah mataku mulai kabur.
Dan aku hanya bisa menunggu, menunggu sampai Kematian menjemputku.
Sampai akhirnya kulihat dari sebelah mataku. Orang berbaju oranye mencari kalau-kalau ada yang masih hidup.
Ia menghampiriku, ia mengangkat tubuhku dari lantai yang panas. Ia memegang tubuhku dengan kuat.
Ia berlari menerobos api yang panas, ia berlari kalau-kalau awan panas kembali meluncur.
Kurasakan panas api menyentuh kulitku. Bau belerang sangat menyengat. Ia membawaku ke mobil bak terbuka. Ia membuka maskernya dan mengenakannya diwajahku.
Kucoba untuk memerhatikan wajahnya dengan sebelah mataku. Ia menatapku dengan khawatir.
Dia menatapku bukan dengan kedua matanya, tapi dengan sebelah matanya. Mata kirinya bergerak-gerak melihat sekitarnya, tapi mata kanannya hanya diam, sama sekali tak bergerak.
Mataku juga seperti itu, bukan mata kananku, tapi mata kiriku. Mata kiriku tak bisa bergerak, hanya diam. Mata kiri normalku hilang bersama nyawa kedua orang tuaku 3 tahun yang lalu.
Dia yang akan melengkapiku.
Dia yang menjadi mata kiriku.
Bukan mata yang hanya melihat keindahan, tapi mata yang selalu ada walau disuasana buruk.
Ia mengucapkan kata-kata yang mencoba menenangkanku.
Kucoba untuk membalasnya, tapi udara ini seolah menekanku, menghalangi pita suaraku untuk bergetar.
“Bahwa mataku adalah matamu juga.” Hanya itu yang bisa keluar, dan tubuhku terkulai lemas.